Bersosial tanpa Media
Postingan ini diedit 1Β minggu, 3Β hari yang lalu.
Malam ini aku menghapus semua akun media sosial yang aku punya. Twitter, Facebook, dan Instagram. Mulai malam ini, aku (dijadwalkan) tidak punya akun di ketiga media tersebut.
Semua media tersebut tidak memberikan akses yang jelas dan cepat untuk meninggalkan kemeriahan dunianya. Aku harus mencari "how to delete twitter account" yang dijawab dengan cara menghapus akun X, lalu aku baru sadar kalau namanya sudah ganti, baru aku bisa baca langkah-langkahnya. Padahal sama-sama hanya mengakses menu, tapi proses untuk menghapus akun tidak semulus scrolling di website itu. Sudah gitu, aku lupa password pula. Sampai harus ngulang empat kali. Tapi sekarang akunku sudah (dijadwalkan) dihapus oleh mereka.
Sama halnya dengan kawan-kawan dari meta itu. Keduanya mengharuskanku mencari di google sambil ditawari fitur AI yang harus aku tolak setelah loading gambarnya selesai, baru aku bisa tahu dimana pengaturan untuk menghapus akun berada. Sudah begitu, masih ditawari untuk mempelajari cara agar bisa bertahan di website itu, "apakah yakin?", lalu "apakah benar-benar yakin?", lalu "beneran? π", baru kemudian akunku (dijanjikan akan) dihapus.
Semuanya "memberikan" waktu 30 hari agar aku bisa kembali mengakses akun-akunku. Aku tidak tahu kalau aku yang kecil imut ini begitu berharga dimata perusahaan sebesar meta dan ... x(?) sampai-sampai mau hapus satu akun saja diberi waktu untuk rujuk.
Alasanku dengan tiba-tiba memutuskan untuk menghapus akun media sosialku adalah aku merasa tidak perlu untuk memiliki beban itu lagi.
Di twitter aku hanya scroll dan scroll nyaris tanpa pernah menulis apapun disana. Bereaksi pun sudah sangat jarang. Aku paling aktif di twitter saat pandemi dan kebanyakan isinya aku membalas menfess seputar kuliahan dan perbukuan. Kadang bereaksi juga dengan cuitan dari artis-artis yang aku suka. Aku juga pernah aktif menulis ulasan buku disana. Tidak terlalu ramai, tapi ada beberapa akun yang berinteraksi denganku dari tulisanku itu. Tapi sepanjang 13 tahun aku punya akun itu, aku belum pernah mendapatkan teman atau bahkan kenalan yang berarti. Aku malah berhasil menghasilkan beberapa uang dari akun itu karena aku jualan pernak-pernik K-Pop tinggalan kakak sepupuku. Aku juga berhasil menjual sebagian bukuku lewat twitter untuk aku belikan ponsel cerdas karena aku barusan kemalingan waktu itu. Lumayan berguna, tapi bukan untuk bersosial.
Di facebook aku sudah sangat jarang aktif. Tulisanku sejak tahun 2012 lalu sudah sangat banyak yang aku hapus karena malu banget pernah nulis seaneh itu dan banyak yang baca???? duh. Aku juga hanya "menyimpan" teman-teman lama dari masa sekolah di facebook. Mereka yang bahkan mungkin sudah lupa denganku saking tidak pernahnya bertukar sapa. Aku juga risih dengan facebook karena sering kena tag postingan yang aneh dari entah siapa. Tapi dari facebook aku sudah pernah menjual hp dan laptop bekas, dapat info orang jualan sepeda listrik, dan sempat beli handphone 100 ribuan.
Di instagram yang baru aku buat sekitar dua tahun ini, aku lebih tidak pernah aktif. Aku hanya post 4 kali dan bahkan tidak punya orang yang kenal aku yang nge-follow. Aku di instagram hanya melihat-lihat postingan artis-artis yang aku suka saja, karena kadang mereka lebih update disana dibanding media lain. Tapi aku hanya merasa instagram bikin beban pikiran saja. Dulu jaman mahasiswa baru, aku sempat dengan buru-buru membuat akun instagram. Alasannya karena aku harus punya akun untuk bisa menjadi staf Dana Usaha yang baik; karena harus posting paid promote di akun pribadi. Selang satu semester, saat liburan, aku benar-benar terpapar hiruk pikuk postingan instagram teman-temanku.
Waktu itu, aku sedang sangat menyukai tanaman tomat ranti yang barusan bertunas. Sorenya, aku melihat postingan salah satu temanku yang liburan ke Kuala Lumpur hanya dengan adiknya. Lalu ada teman lain yang umroh. Lalu ada teman lain yang sedang mempersiapkan diri untuk mendaki gunung. Setelahnya, ada teman lain yang merayakan ulang tahunnya. Aku tidak ingin membandingkan diriku dengan mereka, toh aku tahu kalau mereka hanya memperlihatkan kesenangannya saja. Aku baru tahu belakangan kalau temanku ada yang pulang kampung karena dia memang orang Malaysia, ada yang dipaksa berangkat umroh untuk menemani ibunya, ada yang harus mendaki demi kehidupan sosialnya di UKM, dan ada yang secara tiba-tiba harus melayani surprise dari teman-temannya. Sore itu, aku hanya merasa kalau semua orang bisa dengan bebas menikmati hidupnya, sedangkan aku harus puas dengan menyentuh tunas-tunas tanaman tomat. Esoknya, aku hapus akun instagram pertamaku itu.
Sama halnya dengan twitter, setiap pagi aku harus melayani jari jemariku yang dengan lincah otomatis membuka website itu. Melihat keadaan dunia, kilahku. Wah, banyak yang selingkuh. Eh ini siapa pula artis baru kah? Yeay idol-ku trending. Duh ada-ada aja politikus Indonesia. Ealah skandal lagi skandal lagi, makanya kalau ngefans nggak usah kebangetan. Begitu isi kepalaku sambil mengelus-elus layar ponsel. Tentu saja, masih bau jigong dan tubuh kaku belum gerak sedikitpun dari kasur.
Saat membuat blog ini, aku sambil membuat keputusan untuk menghapus akun-akun itu tahun depan. Rencananya, aku akan mempertahankan mereka dan domain lamaku agar orang-orang yang kenal (dan mungkin kangen) denganku akan mencariku disini. Tapi tadi aku sadar, tidak ada yang nyariin aku selama ini wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk
Miris sih, tapi selama jadi bagian dari trah manusia, aku selalu merasa kalau aku ini nyaris transparan. Kalau ada, aku bisa berguna. Kalau aku tidak ada, tidak ada yang nyariin. Aku selalu berusaha sebisa mungkin berdiri digaris paling aman; mengerjakan tugas semaksimal mungkin, menjadi orang paling baik yang aku bisa, dan memberi kabar kalau akan pergi. Tapi mulai hari ini aku tidak ingin menjadi seperti itu lagi.
Domain lamaku masih ada dan aku arahkan kesini, jadi aku tidak menutup kemungkinan kalau ada seseorang diluar sana yang menghargai keberadaanku tanpa aku harus berguna untuknya. Kalau kamu baca ini dan kenal aku, whatsapp aja, atau email aja kalau nggak tahu nomorku. Whatsappku masih aktif meskipun jarang aku buka juga. Aku juga sudah sangat jarang bikin status WA, jadi jangan heran. Terima kasih sudah ingat aku, kalau kamu baca ini hehehe. Semoga kabarmu baik dan selalu bahagia~
Untuk teman-teman pembaca baru di blog ini, terima kasih juga sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan-tulisanku. Sebenarnya aku agak malu karena tulisanku banyak yang tidak nyambung dan aneh, tapi tolong maklumi ya, aku cuma punya pengalaman nulis buku diary saja hehehe.
Kesimpulan malam ini ada di judul yang spontan aku buat sebelum menulis kalimat pertama tadi. Aku ingin bersosial tanpa media. Aku ingin berkenalan tanpa melihat angka following dan followers. Aku ingin berteman tanpa melihat sudahkah kamu nge-like postinganku. Aku ingin bersahabat dengan bertukar kabar melalui tulisan-tulisan dan obrolan-obrolan panjang.
Aku juga ingin hari-hariku tidak penuh dengan kegiatan mengelus-elus layar ponsel sambil merasakan berbagai macam emosi.
Entah ini sebuah pertumbuhan atau kemunduran, yang penting aku senang. Semoga semua orang juga berbahagia hari ini.